Gue pengen nulis
1h37r1t7g*G@*EG#*@G*2g1g8b38v8dvuu. Pengen ngomong @*$YB#B
*B7g@(#&@GHYFWSBFUbd. Pengen ngomong dalam pikiran EFBHIBIWBe3732hai𗂤h&#Y$#($.
Setelah itu semoga ngga ada lagi yang mengusik ketenangan. Setelah itu ngga
boleh ada lagi pengharapan – pengharapan yang tidak mempunyai alurnya. Enstein
mungkin benar ngga selamanya sebab berada didepan atau akibat selalu di
belakang. Mungkin gue lupa, jika gue berpikir gue tidak ada maka bila tidak ada
pertemuan. Tapi gue selalu berpikir kemana sebab setelah sekarang gue baru saja
mengetahui akibat. Semua tetap berada di alurnya. Semua tetap mengalir linier.
Semua tetap berjalan tidak sedetik pun berhenti. Tapi semua baru saja menyadari
sebab setelah mengetahui akibat. Semua sangat membingungkan. Gue ngga bisa
ngomong apa-apa. Atau gue ngga pernah tahu mau ngomong apa. Semuanya terlihat
terus berubah-ubah. Dan gue tidak begitu menyukai perubahan yang tidak pernah
berjalan kembali. Kembali lagi ketika semua masih menjadi sebab.
Akhir-akhir ini
gue banyak bercerita tentang cinta. Karena gue selalu mengingatkan diri. Karena
menceritakan sesuatu pengharapan-pengharapan itu realistis hanya saja terlalu ambisius
menentang kenyataan. Pertama gue bercerita dalam film Dear Vina. Segala sesuatu
itu berjalan terus kedepan tapi, karena pengharapan itu menjadikan gue terlalu
ambisius. Sekali lagi gue berada di sisi akibat. Gue berusaha untuk tidak
menebak- nebak akhir dari suatu cerita. Kenyataannya gue berada disisi akibat.
Biar mereka menilai jika mereka berada di sisi akibat bukan kah mereka masih
harus mencari dimana letak sebab. Keseluruhan cerita itu sebenarnya berada di
masa lalu yang paling dekat dengan masa kini. Jangan coba menebak-nebak kalau
itu sebuah kenyataan. Sekali lagi itu hanyalah pengharapan yang menjadikan gue
terlalu ambisius. Sederhana saja, penantian menjadi sebuah hal yang
membingungkan di masalalu yang paling dekat dengan masa kini. Ini beda,
penantian bukanlah hanya ‘Sebab ia telah berjanji akibatnya saya menanti’. Itu
hanya ke klise-an yang terus diulang-ulang. Coba bayangkan seseorang yang
berada di dua ruang dan waktu tanpa ada gerakan. dunia yang membentuk ruang
karena ruang hanya di pisahkan oleh cahaya yang bergerak. Dua ruang dan waktu
bukannya tidak saling berkomunikasi, hanya saja seseorang yang berada di salah
satu dari dua ruang dan waktu itu masih saja membingungkan dimana ia sekarang.
Dan seseorang yang lain yang terpisahkan itu hanya menjadi pengharapan dari
seseorang itu. Pemikiran ini yang jauh telah menjadi sebab yang hilang dalam
pikiran dari akibat yang baru saja gue ketahui. Dan baru sekarang gue
menemukannya dan gue menceritakannya dalam bahasa yang tidak begitu berterus-terang.
Kedua adalah film
Kita Putus. Itu menjadi cerita yang sangat sederhana karena terlalu membosankan
bila menjadi seseorang yang berada di dua ruang dan waktu itu. Kenapa ia harus
bosan?. Apakah ia ingin pulang dan hanya menjadi satu di ruang dan waktu?. Dan
membiarkan pengharapan yang berada di ruang dan waktu yang lainnya menghilang?.
Itu sangat membosankan bila terus di ingat. Itu sangat membosankan bila harus
terus menebak-nebak sebab. Itu akan menjadi kebencian yang sederhana karena
kebosaan itu. Kenapa tidak sekalian saja gue membencinya kerena gue terus
bertahan dalam pemikiran perfeksionis. Hingga gue terus mencari
kelemahan-kelemahan agar gue benar –benar menjadi satu dalam ruang dan waktu
dan melanjutkan perjalanan ini dengan menenangkan. Kenyataannya gue mencoba
bercerita tanpa menemukan sebab sedikit pun untuk membenci. Hanya saja mencemoh
agar gue bisa tenang untuk sesaat. Dan tetap saja seseorang yang berada di satu
ruang dan waktu akan mendapatkan kebingungan, hanya saja lebih realistis untuk
di pikirkan.
Yang ketiga adalah
film Silhouette, ini menjadi cerita yang panjang dan bertele-tele. Tidak ada
ketegasan yang berarti. Ini adalah masa lalu yang telah jauh dengan masa kini.
Gue hanya rindu, rindu itu bahasa yang sederhana namun lagi-lagi mereka
mengartikannya dengan klise. Mungkin rindu yang dimaksud adalah ’saya telah
lama tidak bertemu dengan hal yang pernah berarti bagi saya karena itu saya
merindukannya’. Itu hanya membohongi diri sendiri. Apa yang bisa di harapkan
dari rindu bila itu hanya di rasa dan terus mengusik ketenangan. dan gue yang
telah berusaha berada di satu ruang dan waktu harus terlempar kembali ke dua
ruang dan waktu tersebut karena rindu. Ngga usah terlalu menjadi beban. Gue hanya
mengatakan hal yang bisa berarti apa-apa bukan hal yang terarah ke satu tujuan.
Rindu yang gue maksud adalah rindu kembali ke sebab karena mungkin gue baru
menemukan akibat yang memaksa gue kembali lagi ke sebab dengan prantara rindu.
Pemikiran ini tidak begitu rumit dari pemikiran gue sebelumnya. Gue mencoba
kembali ke realitas meskipun sekarang gue berada lagi di dua ruang dan waktu.
Gue coba berterus-terang dengan pengharapan-pengharapan yang telah lama
mengusik ketenangan. Hanya saja gue ngga pernah bisa benar-benar mengatakan
sebuah hal yang menurut pemikiran perfeksionis ini terlalu klise. Apa salahnya jika
gue berterus-terang dalam bentuk frasa. Frasa atas sebab-akibat dari hal yang
gue rindukan namun tidak begitu subjektif. Bukannya itu kembali lagi ke
tidakterus-terang?. Sekali lagi mereka menganggap terus-terang dari pandangan
yang berbeda dengan gue. Tanpa adanya kejujuran yang subjektif apakah cerita
ini akan menjadi realistis sementara gue masih berada di dua ruang dan waktu
dengan prantara rindu. Gue coba bercerita dengan ungkapan lain dengan
keterus-terangan pengharapan yang coba gue bawa ke realitas. Kenapa harus
bertele-tele dalam berterus-terang bukankah itu kembali lagi ke
tidakterus-terangan?. Itu sesuatu yang perlu di garis bawahi. Kalau perlu
menjadi PR dalam hidup gue. Pertanyaan yang belum bisa di temukan adalah kenapa
gue menemukan sebab yang kenyataannya seperti itu. Namun dengan akibat yang
baru gue ketahui mengingatnya hanya akan menjadi kekecewaan. Dua ruang dan
waktu yang tidak pernah tahu dimana gue berada. Karena itu gue hanya bisa
menebak kemungkinan bila sebab menjadi berterus-terang maka akibat akan menjadi
sebuah kenyataan yang bisa menenangkan atau mengecewakan.
Yang keempat
adalah film KopiSusu. Cerita ini hanya kelelahan gue memikirkan
pengharapan-pengaharapan yang tak menentu itu. Gue hanya ingin coba keluar
namun tetap bertahan hingga cerita gue selanjutnya mengakhirinya. Hal itu hanya
menjadikan gue acuh tak acuh dengan rotasi bumi bahkan revolusi yang merasakan
hanyalah panas dan dingin yang terasa sama saja. Gue coba membuka sedikit
realitas yang lain dari pengharapan itu namun sekali lagi tidak terlapas jauh
dari pengharapan itu. Jika motif utama adalah pengharapan maka bukankah ada
alternatif lain yang membuatnya sedikit tersenyum. Apa artinya motif tanpa
adanya motivasi. Dan apa yang terjadi jika motivasi itu berubah tidak sesuai
dengan pengharapan itu. Bukankah ada alternatif realitas lain yang tak terlepas
dari sebab-akibat atau alur. Mungkin dunia kembali lagi terbelah jadi dua oleh
cahaya. Siang dan malam, masalalu dan sekarang. Dan bagi gue yang menjadi pemikiran
utama adalah alternatif realitas lain itu yang menciptakan proses dan tetap
searah dengan alur utama.
Dan film yang baru menjadi tulisan
akan mengkhiri kelelahan gue berada di dua ruang dan waktu. Dan kembali lagi ke
realitas yang jujur. Dan gue coba berterus-terang.