.---TERUS BERJALAN, BIARKAN CAHAYA TERTUTUP AWAN, MENUTUPI ANGAN, DITENGAH IMPIAN, DALAM KEYAKINAN, MUNGKIN TERWUJUDKAN, KETIKA MENYATAKAN TINDAKAN.---.

Jumat, 24 Agustus 2012

Insomnia (bosan)



MATAHARI TERLIHAT bulat seperti biasa, sinarnya tak begitu menyilaukan, perlahan memerah, semakin tua dan menghitam. Bumi pun masih terasa bulat, rotasinya terus bergerak seperti biasa. Sampai saat saya mengharapkannya menjadi datar. Mungkin, diatas atap sana saya bisa memandang jauh ketimur. Menyentuh cahaya abadi pusat keseimbangan bumi, menggema menenangkan, mungkin disanalah para malaikat singgah dan kembali dengan membawa berjuta dosa anak adam, hilang di lapisan langit paling tinggi. Lebih jauh menatap. sebuah menara hitam menjulang samar mewakili sebuah karya seni maestro dunia, masih terselimut kabut yang semakin memutih. Tidak membiarkan saya mengerti mengapa. kenapa bintang menari-nari disana, apakah teka-teki dinding yang begitu panjang ini bisa mengalahkan saya. Apakah samudra tidak ada artinya. Lalu apa gunanya himalaya yang semakin membeku itu. Atau saya masih berada disini. Berlawanan arah mengalihkan wajah, sebuah simbol jauh disana, tampak gagah beriringan deburan ombak yang tak kunjung lemah, mewakili identitas suatu negara. Tidak tahu kenapa saya ingin kesana, menemuinya, berkata tentang sebuah impian, dan pulang menjadi diri sendiri. Mungkin, atau mungkin saya hanya bermimpi.

       Senja tak begitu menyenangkan, hanya sendiri disaat semua orang mengelilingi matahari. Sampai kapan mereka disini, sampai kapan mereka tersenyum melawan gravitasi. Setidaknya bidang miring hanya memberi sedikit nafas. Sedangkan awan dibawah jemari kaki, terus turun atau saya yang semakin tinggi. Dingin telah sampai ke tulang belakang, mengayun-ayun diantara dedaunan. bukankah ini kemarau panjang. Lalu apa yang membuat saya kecewa, apakah saya pantas kecewa. Sementara hangatnya matahari masih tersisa di sudut sana. Lalu mimpi kembali datang memaksa saya memejamkan mata. Tidak, tidak ada yang akan saya biarkan terlewat. Setiap janji adalah hutang, setiap perkataan adalah janji. Sampai waktunya saya pasti terlempar dari semua ini. Terus berjalan, yang terpenting adalah melawan atau mati dalam beberapa kesia-siaan.

Menghitam di sudut barat, kilauan pasir putih nampak memantulkan cahaya. Terbang dan menebar ke langit, bercahaya seperti biasanya. Tetapi tidak disini, suara angin terus memuji saya. Hanya angin yang bisa benerbangkan ratusan lampu hijau tiga nyawa. Terikat seutas tali di dua dimensi yang menangkap udara. tetap begitu selama angin terus mengayunkannya. Tarikan pita kaset seperti kehilangan nadanya. Nada apa, dengungan panjang ini lebih menenangkan dari pada sekedar nada. Cepat-lambatnya tempo tergantung pada kebaikan angin diatas sana. Malam selalu mengagumkan, karena saya bisa terus menghitung berapa banyaknya bintang. apakah berkurang atau semakin menambah tak terkira. Dan saya selalu ingin membedakan titik-titik yang bercahaya itu. Beberapa titik hanya memantulkan cahaya, tetapi saya percaya banyak titik yang menciptakan cahayanya sendiri. Karena itu yang saya cari, kenapa mereka bisa membuat cahaya sedangkan saya tidak. Meskipun mereka jauh, sangat jauh. Di kegelapan hitam mereka selalu terlihat. Menunjukan cahayanya atau hanya sekedar menyapa. Memberi senyum anak jalang menangis diantara malam dan menyadarkan kegelisahan akan pengandaian. 

        Teman saya berkata tentang sebuah kesetiaan, lalu kenapa dia terus berbicara dihadapan saya. Bukankah mulut hanya menciptakan kebohongan. Lebih baik saya tinggalkan, tetap bersama langit malam ini yang penuh kepastian. Saya tahu apa yang harus ditemukan, atau mereka terus mengharap-harapkannya cepat berlalu. Seperti garis panjang asap jet plane yang membelah bulan purnama. Menemukan jawabannya diantara berjuta pengandaian. Ratusan lampu itu telah mengudara, menyatu dengan bintang-bintang di lingkaran sana. warna hijau yang membedakannya, karena mereka tidak ingin sama tetapi bisa bersama. Bersama memberi cahaya malam ini, bersama menanti matahari. Suatu ketika mimpi terlihat pasti, itulah yang membuat saya merasa kalah. Sekalah-kalahnya orang yang menang, begitu tepatnya. Bagaimana cara menjelaskannya, sementara orang-orang bertepuk tangan di belakang saya. Atas dasar apa, apa yang telah saya lakukan. Saya hanya ingin mengatakannya dalam diam, dan seseorang didepan saya terdiam. Apakah dia mencari tahu tentang sebuah pemikiran, atau dia merasa seperti sendirian. Lalu tiada guna saya disana karena ketidaklarasan.

        Sudah terlalu larut malam, titik-titik bercahaya itu mulai terlihat membosankan. Saya bosan dengan semua perkataan dalam tulisan, saya lelah terus bercerita. Bercerita apa, saya hanya membiarkan pengharapan. Harapan yang saya umpamakan. Bukankah berterus terang dapat menyelesaikan segala kegelisahaan. Lalu apa yang saya dapatkan. Dan kaki tidak ingin beranjak pergi. Saya tidak ingin pergi sebelum menjelaskan arti. Beberapa orang di lapisan gelap ini menerbangkan layang-layang, mereka memberi cahaya lampu hijau kecil energi tiga baterai di layangan besarnya. Lalu mereka meninggalkannya tersangkut di tanah. Mungkin, mereka menyadari keindahan langit malam yang di dapatkan. Tetapi mengapa mereka tertidur lelap dan membiarkan fajar datang. Saya mengerti mereka bosan. Semua seperti kebosanan yang saya rasakan.

        Mungkin besok pagi mentari tebih terasa menyenangkan, melanjutkan mimpi dan memaki-maki ketidakadilan. Sampai kapan, sampai suatu saat cahaya itu saya dapatkan. Dan mungkin, saya tidak akan membiarkan kesedihan, tidak akan membiarkan kekecewaan, dan mencoba berterus terang. Saya yakin bumi masih bulat, tidak berujung dan kemana pun seseorang berlari, dia akan kembali ke tempat dimana dia memulai. Di tempat yang telah ditentukan, mungkin saya bisa menemukannya. Di hari yang berbeda, di senyuman yang tetap sama dan cahaya yang telah kita genggam. Insomnia, pagi menjelang dan mata ini tak sanggup lagi terjaga menatap matahari.