.---TERUS BERJALAN, BIARKAN CAHAYA TERTUTUP AWAN, MENUTUPI ANGAN, DITENGAH IMPIAN, DALAM KEYAKINAN, MUNGKIN TERWUJUDKAN, KETIKA MENYATAKAN TINDAKAN.---.

Senin, 18 November 2013

Save You


IF


Suara Hitam-Putih



Pernah terpikir oleh ku untuk kembali ke masa lalu, masa dimana aku tak perlu tahu berapa banyak kebohongan dan kebodohan dari suara-suara di dunia ini. Aku berada disini, di Universitas Indonesia yang menyimpan banyak sejarah. Namaku HANIFA, nama itu diambil dari bahasa arab yang berarti lurus. Nama itu mempunyai harapan terdalam dari orang tuaku supaya aku menjadi orang yang tetap berada di jalan yang lurus, di jalan yang benar saat yang lain berpura-pura pada dirinya sendiri.

Dalam rapat besar organisasi mahasiswa. Lihatlah seorang laki-laki itu, sudah setengah jam ia berbicara dengan nada seperti bunyi simbal yang dimainkan oleh drumer band Netral. Nyaring dan bising, hanya saja tak berisi. Mereka berkumpul disini untuk membicarakan tentang rencana membela rakyat. Ya, rencana membela rakyat kecil yang tempat berjualannya sedang dihancurkan oleh pemerintah. Dengan alasan, penertiban dan kenyamanan bagi penumpang kereta di semua stasiun Jabodetabek, khuhusnya Depok, daerah yang paling dekat dari sini. Aku duduk di barisan belakang, diam, tak ingin terlihat dan tak mengerti untuk apa aku disini. Suasana rapat semakin ramai dan ricuh, wanita dengan lipstick tebal dibibirnya itu terlihat begitu menyilaukan saat berusaha membantah. Ketua masih berada di barisan depan dengan garis hitam di sekitar matanya, agar terlihat tajam dan tak ingin terlihat lucu. Agar semua ini tidak terlihat seperti acara komedi.

Hitam-putih. Layar perak kembali ke masa hitam-putih, tanpa bahasa, hanya isyarat. Musik yang mengiringinya memecah sunyi, emosi yang berbicara, empiris dan intuisi yang membuat semua dapat dimengerti. Jauh lebih baik, tak terlalu bising. Telinga bekerja lebih ringan, aku bisa menggunakan lebih kinerja otak ku ini.

Rapat selesai, mereka semua berteriak, berdiri, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan embel-embel membela rakyat. Setelah ini, mereka –jika itu termasuk aku- akan turun ke stasiun Depok untuk berdemo, berteriak lagi, sembari berharap pemerintah mendengar. Aku tersadar dari diamku, aku mencoba menelepon sahabatku AZI, dia teman SMA ku, seorang mahasiswa perfilman yang bekerja sambilan sebagai wartawan di stasiun TV lokal. Aku ingin memberitahunya untuk tidak meliput kejadian ini, aku malu.

******           
Gerbong kereta Computer line yang semakin sesak. Aneh, biasanya tidak sesesak ini.  Akhir-akhir ini aku dilanda kebosanan, kertas-kertas ini, semua ilusi ini membuatku mual, aku ingin memuntahkan isi perutku diantara kesesakan ini. Semoga kota Bogor masih menyisakan ke sejukan untuk ku, untuk sejenak menghirup udara. Handphone ku berdering, sahabatku Hanifa yang menelepon, aku berharap dia menanyakan kabarku. Huh, tiba-tiba dia menyuruh ku untuk tidak pergi ke Depok, suaranya terdengar seperti sedang panik. Dia tak memberi alasan.

Aku hampir telah menulis semua yang ku tahu, aku tahu sebenarnya aku tidak tahu. Karena itu, aku terus mencari tahu apa yang sebenarnya bisa ku ketahui. Setiap gambar bergerak di hadapanku ini, hanya ada hitam dan putih, tanpa bahasa, hanya isyarat. Simbol-simbol itu hanya bisa dimengerti oleh pengalaman diriku sendiri. Review dari para pengamat ternama tak membantuku sedikit pun. Kenapa semua kebosanan ini membawaku ke masa hitam-putih, yang ku tahu aku sedang ingin mencari tahu. Alunan musik pengiringnya yang membuatku tetap bertahan, setidaknya ada rasa nyaman yang membuatku berhasrat lagi memahaminya.

Aku baru saja berangkat dari stasiun Manggarai menuju Bogor, aku berusaha menenangkan diri sambil memegangi tas berisi kamera kesayanganku ini. Petugas kereta memberikan pengumunan bahwa kereta ini hanya berhenti sampai stasiun Univ Indonesia. Dia tak memberi alasan. Kereta tiba di stasiun Univ Indonesia yang begitu ramai, aku melihat banyak polisi atau petugas memakai seragam sedang memegangi palu besar. Bangunan tempat para pedagang berjualan hampir rata dengan tanah. Apa yang sedang terjadi, nampaknya aku benar-benar melewatkan banyak hal. Sungguh, aku sedang tak ingin menggunakan kamera ku saat seperti ini. Aku turun, di sana banyak mahasiswa mengenakan almamater berwarna kuning sedang berteriak sambil membawa karton bertuliskan aneh. Aku mengenali almamater itu, mereka mahasiswa Universitas Indonesia, aku segera mencari Hanifa, dia berhutang penjelasan padaku.

*****
Aku disini sekarang, tetap di barisan belakang, tetap bersembunyi agar tak terlihat. Karton ditanganku ini bisa menutupi wajahku, aku takut mereka bertanya untuk apa wanita berkerudung ada disini, ini bukan seperti filmnya Hanung Bramantyo. Untung saja, aku tidak membawa sorban milik ayahku. Sementara itu, teman-temanku terus berteriak dihadapan jejeran polisi yang bersenjata lengkap. Keadaan semakin ricuh, para pedagang yang juga ikut berteriak menggeser posisiku, aku semakin berada di baris belakang. Aku takut, kereta bisa sewaktu-waktu datang dari arah belakang. Karena itu, aku sering menoleh ke belakang. Kita semua berteriak di atas rel kereta di stasiun terpadat bagi lalu lintas kereta. Aku mulai merasa bodoh. Semoga aku tidak bertemu Azi disini. Aku tak akan bisa menjawab pertanyaan dia.

Saat suara belum ditemukan, ketika semua kejadian ini direkam oleh kamera hitam-putih, setidaknya mereka tak akan mendegar teriakan ini. Ya, jeritan lebih tepatnya, sungguh ini sangat memalukan. Apa kata mereka beberapa tahun lagi saat menonton film tentang ini, saat suara telah ditemukan. Biarlah mereka tertawa, karena hanya melihat ekspresi wajah kita -termasuk saya- disini. Semoga pengiring musik kelak memainkan nada-nada ceria agar mereka merasa ini seperti film komedi saja.

****
Dimana Hanifa, aku tidak menemukannya disini. Aku lelah, sejenak aku keluar dari kebisingan ini untuk membeli minum di warung sekitar. Dahaga ku hilang, dari dalam warung itu terdapat TV yang menyiarkan berita tentang demo di stasiun Depok yang semakin tak terkendali. Mahasiswa dan para pedagang terpancing emosinya, dan terjadi bentrokan dengan para polisi. Aku segara pergi, semoga dugaan ku salah. Aku bertanya pada seorang mahasiswi yang masih berteriak didalam stasiun. Dia berusaha mendengarku diantara kebisingan yang terdengar aneh ini. Dia mengenali Hanifa, dia berkata bahwa Hanifa berada di stasiun Depok. Sial, dugaan ku benar. Aku segera menuju kesana dengan menaiki ojek motor. Aku mencoba tenang dan tak mau menduga lagi.

Aku telah menonton beberapa film tanpa suara yang hanya diiringi musik suasana. Lumiere bersaudara, Georges Milies, Charlie Chaplin, dan lain-lain. Meskipun aku tidak pernah mengintip gambar bergerak dari kinetoskopnya T.A Edison. Aku mulai merasa apa yang sebenarnya terjadi sekarang adalah apa yang pernah terjadi masalalu dan mungkin akan terjadi lagi di masa depan. Aku sungguh tertarik pada teori ‘lingkaran waktu’ Einstein. Ya, aku mengerti kenapa aku harus kembali ke hitam-putih, tanpa bahasa, hanya isyarat.

***
Matahari senja berada di belakangku, Aku semakin takut. Aku menyadari bahwa aku memang bodoh. Aku berada di jalan yang salah, mengikuti mereka yang salah mengartikan sejarah. Aku pernah menonton film tentang ini, ya, tepatnya film tentang mahasiswa sastra puluhan tahun lalu. Soe Hok Gie, nama itu terdengar tidak asing lagi bagiku, aku telah sedikit mengetahui tentang dia dari film itu. Dia sosok yang ku kagumi, aku berada di suasana dimana ia pernah berada dulu saat Soekarno mulai kehilangan asa. Tetapi aku masih belum tahu apa kesalahan dia. Jika itu berarti, kita sendiri yang sebenarnya membuat orang lain menyalahkan kita. Entahlah.

Eiffel yang begitu menawan, Tembok Cina yang begitu megah, Kutub yang begitu membeku. Dan semua yang telah ku lihat dalam film hitam-putih, adalah semua yang tak bisa berbicara, tanpa bahasa, hanya isyarat. Lihat dan rasakan lebih dekat semua kekakuan gambar hitam-putih. Semua ini menyadarkan diriku, Aku harus belajar dari isyarat, bukan selalu mendengar bahasa dari suara. Aku seharusnya mencoba memahami semua yang diam, dari pada mengikuti arah semua yang berbicara. Aku mengerti mengapa Azi mengajakku menonton film hitam-putih yang sungguh klasik ini.

Aku perlahan menjauh kebelakang. Aku telah mengecewakan harapan orang tuaku yang telah memberiku nama ini. Terdengar suara gemuruh, aku bisa merasakan getaran tanah ini. Aku mencoba menoleh perlahan kebelakang.

**
Motor ini telah melaju maksimal di jalanan ibukota, 60 km/jam tidak bisa lebih. Perasaanku tak enak, aku yakin Hanifa bisa menjelaskan semua ini padaku. Dia seorang wanita yang memiliki komitmen hebat, aku mengenalnya dengan baik, dia tidak bisa berbohong padaku kali ini.

Sungguh, otak dangkal ku ini, pernah berpikir bahwa film bukan hanya sekedar tontonan penghibur. Tetapi selalu ada pesan dari orang-orang cerdas, dari para ilmuwan, filusuf dan ulama yang terus belajar memaknai kehidupan lebih dari yang pernah ku tahu. Tanpa bahasa, hanya isyarat, yang membiarkanku menjadi diriku, memahami menurut semua yang ku tahu. Dan selalu berharap, semoga setiap peristiwa dalam gambar bergerak tidak akan terjadi lagi dimasa yang akan datang. Setidaknya berusaha mencegah, baik-buruknya kita yang menentukan. Aku dan Hanifa begitu serius menonton film hitam-putih, di layar laptop ini. Di sela-sela pelajaran kosong, di SMA. Sewaktu-waktu aku ingin sekali membuat film tentangnya. Aku tak akan memberi alasan.

*
Hal yang aku takutkan benar terjadi dibelakangku. Suara itu semakin mendekat, semakin bergetar. Tubuhku mati rasa, aku tak bisa mengingat apapun. Kematian terasa telah ada di belakangku dan semakin mendekat, aku memberanikan diri untuk menengok kebelakangku, membalikan badan, Hening.

 Terlintas bayangan Charlie Chaplin saat berpisah dengan seorang anak kecil yang terus mengganggunya. Dia begitu sedih, anak itu menangis, Chaplin yang ceria, kostumnya yang lucu, gerakannya yang unik, tetap tak bisa menutupi kesedihannya. Tanpa bahasa, hanya isyarat. Aku terjebak dalam film hitam-putih, aku kembali ke masalalu. Dan bel sekolah berbunyi, ilusi ini terhenti. Aku dan Azi terdiam memikirkan apa makna sebenarnya yang ingin disampaikan dalam diam, tanpa bahasa, hanya isyarat. Saat itu aku ingin sekali menulis sebuah cerita, dan mempercayakan Azi untuk menerjemahkannya dalam gambar bergerak, dalam sebuah film. Biarlah berwarna, biarlah suara itu terdengar. Aku tahu Azi bisa menyampaikan isyaratku jauh lebih hebat dari film hitam-putih ini. Dengan bahasa, dengan isyarat.

 Terakhir yang ku lihat sebuah benda hitam besar mendarat di kepala ku. Gelap. Tersisa suara-suara yang tak begitu jelas lagi ku dengar, perlahan melenyap.

THE END


Cerita ini hanya fiksi, tidak nyata. Terinspirasi dari Peristiwa di Depok, demonstrasi para mahasiswa Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.

Tokoh hanyalah fiksi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kesamaan nama. Terinspirasi dari teman-teman saya yang begitu saya kagumi.

terinspirasi dari film Charlie Chaplin

By Bagus Mias Putra