Pernah
terpikir oleh ku untuk kembali ke masa lalu, masa dimana aku tak perlu tahu
berapa banyak kebohongan dan kebodohan dari suara-suara di dunia ini. Aku
berada disini, di Universitas Indonesia yang menyimpan banyak sejarah. Namaku HANIFA,
nama itu diambil dari bahasa arab yang berarti lurus. Nama itu mempunyai harapan
terdalam dari orang tuaku supaya aku menjadi orang yang tetap berada di jalan
yang lurus, di jalan yang benar saat yang lain berpura-pura pada dirinya
sendiri.
Dalam
rapat besar organisasi mahasiswa. Lihatlah seorang laki-laki itu, sudah
setengah jam ia berbicara dengan nada seperti bunyi simbal yang dimainkan oleh
drumer band Netral. Nyaring dan bising, hanya saja tak berisi. Mereka berkumpul
disini untuk membicarakan tentang rencana membela rakyat. Ya, rencana membela
rakyat kecil yang tempat berjualannya sedang dihancurkan oleh pemerintah.
Dengan alasan, penertiban dan kenyamanan bagi penumpang kereta di semua stasiun
Jabodetabek, khuhusnya Depok, daerah yang paling dekat dari sini. Aku duduk di
barisan belakang, diam, tak ingin terlihat dan tak mengerti untuk apa aku
disini. Suasana rapat semakin ramai dan ricuh, wanita dengan lipstick tebal dibibirnya itu terlihat begitu
menyilaukan saat berusaha membantah. Ketua masih berada di barisan depan dengan
garis hitam di sekitar matanya, agar terlihat tajam dan tak ingin terlihat
lucu. Agar semua ini tidak terlihat seperti acara komedi.
Hitam-putih. Layar perak kembali ke
masa hitam-putih, tanpa bahasa, hanya isyarat. Musik yang mengiringinya memecah
sunyi, emosi yang berbicara, empiris dan intuisi yang membuat semua dapat
dimengerti. Jauh lebih baik, tak terlalu bising. Telinga bekerja lebih ringan,
aku bisa menggunakan lebih kinerja otak ku ini.
Rapat
selesai, mereka semua berteriak, berdiri, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya
dengan embel-embel membela rakyat. Setelah ini, mereka –jika itu termasuk aku- akan
turun ke stasiun Depok untuk berdemo, berteriak lagi, sembari berharap
pemerintah mendengar. Aku tersadar dari diamku, aku mencoba menelepon sahabatku
AZI, dia teman SMA ku, seorang mahasiswa perfilman yang bekerja sambilan
sebagai wartawan di stasiun TV lokal. Aku ingin memberitahunya untuk tidak
meliput kejadian ini, aku malu.
******
Gerbong
kereta Computer line yang semakin
sesak. Aneh, biasanya tidak sesesak ini. Akhir-akhir ini aku dilanda kebosanan,
kertas-kertas ini, semua ilusi ini membuatku mual, aku ingin memuntahkan isi
perutku diantara kesesakan ini. Semoga kota Bogor masih menyisakan ke sejukan
untuk ku, untuk sejenak menghirup udara. Handphone
ku berdering, sahabatku Hanifa yang menelepon, aku berharap dia menanyakan
kabarku. Huh, tiba-tiba dia menyuruh ku untuk tidak pergi ke Depok, suaranya
terdengar seperti sedang panik. Dia tak memberi alasan.
Aku hampir telah menulis semua yang
ku tahu, aku tahu sebenarnya aku tidak tahu. Karena itu, aku terus mencari tahu
apa yang sebenarnya bisa ku ketahui. Setiap gambar bergerak di hadapanku ini,
hanya ada hitam dan putih, tanpa bahasa, hanya isyarat. Simbol-simbol itu hanya
bisa dimengerti oleh pengalaman diriku sendiri. Review dari para pengamat
ternama tak membantuku sedikit pun. Kenapa semua kebosanan ini membawaku ke
masa hitam-putih, yang ku tahu aku sedang ingin mencari tahu. Alunan musik
pengiringnya yang membuatku tetap bertahan, setidaknya ada rasa nyaman yang
membuatku berhasrat lagi memahaminya.
Aku
baru saja berangkat dari stasiun Manggarai menuju Bogor, aku berusaha
menenangkan diri sambil memegangi tas berisi kamera kesayanganku ini. Petugas
kereta memberikan pengumunan bahwa kereta ini hanya berhenti sampai stasiun Univ
Indonesia. Dia tak memberi alasan. Kereta tiba di stasiun Univ Indonesia yang
begitu ramai, aku melihat banyak polisi atau petugas memakai seragam sedang
memegangi palu besar. Bangunan tempat para pedagang berjualan hampir rata
dengan tanah. Apa yang sedang terjadi, nampaknya aku benar-benar melewatkan
banyak hal. Sungguh, aku sedang tak ingin menggunakan kamera ku saat seperti
ini. Aku turun, di sana banyak mahasiswa mengenakan almamater berwarna kuning
sedang berteriak sambil membawa karton bertuliskan aneh. Aku mengenali almamater
itu, mereka mahasiswa Universitas Indonesia, aku segera mencari Hanifa, dia
berhutang penjelasan padaku.
*****
Aku
disini sekarang, tetap di barisan belakang, tetap bersembunyi agar tak
terlihat. Karton ditanganku ini bisa menutupi wajahku, aku takut mereka
bertanya untuk apa wanita berkerudung ada disini, ini bukan seperti filmnya Hanung
Bramantyo. Untung saja, aku tidak membawa sorban milik ayahku. Sementara itu,
teman-temanku terus berteriak dihadapan jejeran polisi yang bersenjata lengkap.
Keadaan semakin ricuh, para pedagang yang juga ikut berteriak menggeser
posisiku, aku semakin berada di baris belakang. Aku takut, kereta bisa
sewaktu-waktu datang dari arah belakang. Karena itu, aku sering menoleh ke belakang.
Kita semua berteriak di atas rel kereta di stasiun terpadat bagi lalu lintas
kereta. Aku mulai merasa bodoh. Semoga aku tidak bertemu Azi disini. Aku tak akan
bisa menjawab pertanyaan dia.
Saat suara belum ditemukan, ketika
semua kejadian ini direkam oleh kamera hitam-putih, setidaknya mereka tak akan
mendegar teriakan ini. Ya, jeritan lebih tepatnya, sungguh ini sangat
memalukan. Apa kata mereka beberapa tahun lagi saat menonton film tentang ini,
saat suara telah ditemukan. Biarlah mereka tertawa, karena hanya melihat ekspresi
wajah kita -termasuk saya- disini. Semoga pengiring musik kelak memainkan
nada-nada ceria agar mereka merasa ini seperti film komedi saja.
****
Dimana
Hanifa, aku tidak menemukannya disini. Aku lelah, sejenak aku keluar dari
kebisingan ini untuk membeli minum di warung sekitar. Dahaga ku hilang, dari
dalam warung itu terdapat TV yang menyiarkan berita tentang demo di stasiun Depok
yang semakin tak terkendali. Mahasiswa dan para pedagang terpancing emosinya,
dan terjadi bentrokan dengan para polisi. Aku segara pergi, semoga dugaan ku
salah. Aku bertanya pada seorang mahasiswi yang masih berteriak didalam stasiun.
Dia berusaha mendengarku diantara kebisingan yang terdengar aneh ini. Dia mengenali
Hanifa, dia berkata bahwa Hanifa berada di stasiun Depok. Sial, dugaan ku
benar. Aku segera menuju kesana dengan menaiki ojek motor. Aku mencoba tenang
dan tak mau menduga lagi.
Aku telah menonton beberapa film
tanpa suara yang hanya diiringi musik suasana. Lumiere bersaudara, Georges
Milies, Charlie Chaplin, dan lain-lain. Meskipun aku tidak pernah mengintip
gambar bergerak dari kinetoskopnya T.A Edison. Aku mulai merasa apa yang
sebenarnya terjadi sekarang adalah apa yang pernah terjadi masalalu dan mungkin
akan terjadi lagi di masa depan. Aku sungguh tertarik pada teori ‘lingkaran
waktu’ Einstein. Ya, aku mengerti kenapa aku harus kembali ke hitam-putih,
tanpa bahasa, hanya isyarat.
***
Matahari
senja berada di belakangku, Aku semakin takut. Aku menyadari bahwa aku memang
bodoh. Aku berada di jalan yang salah, mengikuti mereka yang salah mengartikan
sejarah. Aku pernah menonton film tentang ini, ya, tepatnya film tentang
mahasiswa sastra puluhan tahun lalu. Soe Hok Gie, nama itu terdengar tidak
asing lagi bagiku, aku telah sedikit mengetahui tentang dia dari film itu. Dia
sosok yang ku kagumi, aku berada di suasana dimana ia pernah berada dulu saat
Soekarno mulai kehilangan asa. Tetapi aku masih belum tahu apa kesalahan dia. Jika
itu berarti, kita sendiri yang sebenarnya membuat orang lain menyalahkan kita.
Entahlah.
Eiffel yang begitu menawan, Tembok
Cina yang begitu megah, Kutub yang begitu membeku. Dan semua yang telah ku
lihat dalam film hitam-putih, adalah semua yang tak bisa berbicara, tanpa
bahasa, hanya isyarat. Lihat dan rasakan lebih dekat semua kekakuan gambar hitam-putih.
Semua ini menyadarkan diriku, Aku harus belajar dari isyarat, bukan selalu
mendengar bahasa dari suara. Aku seharusnya mencoba memahami semua yang diam,
dari pada mengikuti arah semua yang berbicara. Aku mengerti mengapa Azi
mengajakku menonton film hitam-putih yang sungguh klasik ini.
Aku
perlahan menjauh kebelakang. Aku telah mengecewakan harapan orang tuaku yang
telah memberiku nama ini. Terdengar suara gemuruh, aku bisa merasakan getaran
tanah ini. Aku mencoba menoleh perlahan kebelakang.
**
Motor
ini telah melaju maksimal di jalanan ibukota, 60 km/jam tidak bisa lebih.
Perasaanku tak enak, aku yakin Hanifa bisa menjelaskan semua ini padaku. Dia
seorang wanita yang memiliki komitmen hebat, aku mengenalnya dengan baik, dia
tidak bisa berbohong padaku kali ini.
Sungguh, otak dangkal ku ini,
pernah berpikir bahwa film bukan hanya sekedar tontonan penghibur. Tetapi
selalu ada pesan dari orang-orang cerdas, dari para ilmuwan, filusuf dan ulama
yang terus belajar memaknai kehidupan lebih dari yang pernah ku tahu. Tanpa
bahasa, hanya isyarat, yang membiarkanku menjadi diriku, memahami menurut semua
yang ku tahu. Dan selalu berharap, semoga setiap peristiwa dalam gambar
bergerak tidak akan terjadi lagi dimasa yang akan datang. Setidaknya berusaha
mencegah, baik-buruknya kita yang menentukan. Aku dan Hanifa begitu serius
menonton film hitam-putih, di layar laptop ini. Di sela-sela pelajaran kosong,
di SMA. Sewaktu-waktu aku ingin sekali membuat film tentangnya. Aku tak akan
memberi alasan.
*
Hal
yang aku takutkan benar terjadi dibelakangku. Suara itu semakin mendekat,
semakin bergetar. Tubuhku mati rasa, aku tak bisa mengingat apapun. Kematian terasa
telah ada di belakangku dan semakin mendekat, aku memberanikan diri untuk
menengok kebelakangku, membalikan badan, Hening.
Terlintas bayangan Charlie Chaplin saat
berpisah dengan seorang anak kecil yang terus mengganggunya. Dia begitu sedih,
anak itu menangis, Chaplin yang ceria, kostumnya yang lucu, gerakannya yang
unik, tetap tak bisa menutupi kesedihannya. Tanpa bahasa, hanya isyarat. Aku
terjebak dalam film hitam-putih, aku kembali ke masalalu. Dan bel sekolah
berbunyi, ilusi ini terhenti. Aku dan Azi terdiam memikirkan apa makna
sebenarnya yang ingin disampaikan dalam diam, tanpa bahasa, hanya isyarat. Saat
itu aku ingin sekali menulis sebuah cerita, dan mempercayakan Azi untuk menerjemahkannya
dalam gambar bergerak, dalam sebuah film. Biarlah berwarna, biarlah suara itu
terdengar. Aku tahu Azi bisa menyampaikan isyaratku jauh lebih hebat dari film
hitam-putih ini. Dengan bahasa, dengan isyarat.
Terakhir yang ku lihat sebuah benda hitam besar
mendarat di kepala ku. Gelap. Tersisa suara-suara yang tak begitu jelas lagi ku
dengar, perlahan melenyap.
THE END
Cerita ini hanya fiksi,
tidak nyata. Terinspirasi dari Peristiwa di Depok, demonstrasi para mahasiswa
Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.
Tokoh hanyalah fiksi,
tidak ada sangkut-pautnya dengan kesamaan nama. Terinspirasi dari teman-teman
saya yang begitu saya kagumi.
terinspirasi dari film Charlie Chaplin
By Bagus Mias Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar