Matahari
jam 5
Ku
buka telapak tanganku, ku rentang setiap jari-jari ini saling berjauhan.
Kudorong tangan ini kedepan, ku taruh jari kelingking tepat menutupi mentari yang menyilaukan
pandangan, ku arahkan mata ini ke ibu jari yang telah menyentuh dataran
berlubang. Jarum detik telah membawa temannya yang bernama jarum jam menunjuk
angka 5, sore, Lelah, hari ini sungguh
aneh.
Aku
mengerti, ku tutup kedua lubang telingaku dengan earphone yang terus menyanyikan lagu-lagu lama. Hari ini aku
lelah, aku bosan dengan gambar-gambar ini, aku bosan pada ilusi ini, aku harus
beristirahat, aku harus jujur, aku tidak bisa selalu bangga bisa mengatakan
banyak hal dalam ribuan gambar, termasuk apa yang ada di kepala dan hati ini.
Apa salahnya berjalan-jalan sejenak menikmati kota kusam yang semakin menjulang
tinggi, yang mengalahkan sinar mentari, menyesakkan nafas pada ruang kosong
untuk bergerak. Aku sulit bergerak di kota ini, aku ingin bergerak lebih cepat,
merasakan hembusan angin dari celah-celah pohon yang masih tersisa. Tidak apa,
berkendara sambil melihat-lihat keelokan orang-orang yang terus berteriak.
Bergerak terus ke arah barat, aku tidak ingin melewatkan mentari terbenam
diantara asap, bagiku itu terlihat menawan walaupun membuat sesak. Lagu-lagu
ini membawaku ke arah lain, ini terdengar aneh, mengapa bisa pikiran ini
kembali pada kebingungan masalalu. Mata ku terus melihat ke depan sesekali
mencari dimana matahari.
Aku
disini, entah mengapa bisa sampai sini, apakah ini jalan hidup yang telah aku
pilih. Ada apa dengan kamera-kamera itu, ada apa dengan kertas-kertas yang ada
di genggamanku. Aku ingin berteriak. Kenapa mereka masih tertawa. Aku akan
berteriak “ACTION...!!”. Seketika aku terhempas jauh, jauh lebih dalam dari
teori-teori yang telah aku pelajari. Aku mengerti, aku terlalu peduli dengan
apa yang aku tidak ketahui. Dan, semua yang telah terjadi dalam hidupku,
terjadi lagi didepanku. Semua ini seperti dejavu
atau delusi atau apalah aku tak peduli. Ini nyata, ini adalah setiap
detail-detail yang aku sesali saat dulu tidak sempat memahami. Kenapa baru
sekarang aku paham, andai waktu bisa diulang kembali. Aku tersadar. Mereka
mengeluh. Kenapa? Kalian telah mengganggu khayalanku. Mereka menjawab, apakah
tidak terlalu sulit untuk melihat ke bawah, kami takut dengan ketinggian. Aku
mengerti, aku mendapatkan jawabannya. Ya, aku tidak bisa mengulang waktu
kembali. Tetapi, disini, di setiap gambar-gambar ini, aku bisa mengembalikan
waktu, memutar kembali atau melaju lebih jauh. Kenapa? Ini fantasiku, aku
berkuasa disini. Aku bisa memaafkan diriku. Lalu aku katakan pada mereka, aku
menjamin tidak ada yang terluka, aku pernah merasa seperti ini, aku tahu
bagaimana menyelesaikan ini dengan baik. Angin berhembus semakin kencang, aku
begitu jauh dari tanah. Pantas saja matahari itu terlihat begitu indah,
menenangkan jika tak ada yang menghalangi, sudah lama sekali aku merindukan
ini.
Suara
deruan mesin yang bising masuk ke telinga, mengganggu irama merdu ini. Lagu
lama masih mengiringi perjalanan ini, tak tahu kemana, yang penting ke arah
barat. Sial, bagaimana kita diam melihat bendera warna-warni melukai kota ini.
Aku tahu kalian orang asing, aku juga orang asing. Tapi kota ini adalah teman
lamaku, aku kenal walaupun tidak begitu akrab. Ya, selama aku hidup disini,
sering kali aku harus kecewa dengan generasi tua yang lebih mementingkan
jenggot dan kumis dari pada mendengar aku bicara. Tak apalah, mereka butuh uang
untuk makan. Aku belum mengerti. Tetapi aku mengerti bagaimana bersalahnya
orang-orang yang membuat kerusakan disini. Terlebih lagi orang asing yang
berlangak dewasa tetapi lupa menyikat giginya. Aku tak peduli, senyum macam apa
yang kalian pasang di setiap tembok, batang pohon di sekitarku ini. Jujur saja
kalian terlihat begitu norak. Apa bedanya kalian dengan remaja alay yang suka
menghumbar foto atau kata-kata bangsat di mana-mana. Aku rasa kalian belum
dewasa. Dan untuk apa, orang yang belum dewasa menjadi pemimpin di negeri ini.
Mau jadi apa? Belum menjadi saja sudah merusak. Negeri ini bukan taman
kanak-kanak lagi. Aku tahu puluhan tahun lalu kita begitu bodoh, kita mati
kelaparan di atas tumpukan padi hanya karena kita belum tahu kalau biji padi
itu bisa dimakan. Tetapi itu sudah begitu jauh.
Aku
berpikir, bergulat dalam pikiran ini, otak kanan dan otak kiri di dalam sebuah
ring tinju saling memukul, teori dengan realita saling beradu suara, harapan
dan kenyataan menjadi buram. Disini, aku ingin marah pada jarum detik. Jika diperhatikan
dia bergerak begitu tenang, tetapi kenapa dia bisa mendadak menjadi pembunuh
paling kejam. Kenapa?. Dia terlihat
begitu angkuh, bergerak konsisten, bergerak lambat nampaknya. Tetapi tetap saja
aku kalah cepat dengannya. Aku yakin aku lebih cepat dari dia. Aku harus
memperbaiki diri, matahari mulai turun perlahan, jam tanganku mulai berisik,
nampaknya ada yang mencoba protes dengan perkataanku tadi. Sudahlah.
Aku
hampir lupa kalau ini bulan ramadhan, pantas saja senja membuat banyak orang
memenuhi jalan, mencari kesibukan, tertawa, atau hanya membasahi bibir dengan
air ludah. Pinggangku terasa pegal, tetapi aku tak ingin beranjak dari
kendaraan ini. Aku ingin menikmati setiap detail-detail kenangan. Ku ganti musik dari mp3 di handphoneku. Nah,
ini lagu yang tepat, sedikit bersemangat dan sedikit mendayu-dayu. Ku tengok
kanan-kiri sembari menunggu kemacetan yang tak begitu mengherankan. Aku lupa
aku tengah berjanji dengan seseorang.
Kertas
ini hampir saja robek. Ku bolak-balik, ku lipat-lipat, dan ku corat-coret.
Dimana? Aku yakin kemarin aku membuatnya. Sebuah cetatan kecilku, aku tak ingin
mengecewakan. Akhir-akhir ini otakku ini sedikit konslet. Aku tak bisa fokus
tanpa catatan itu. Aku tahu, aku bisa membuat sesuatu yang lebih tanpa catatan
itu. Tetapi aku tidak percaya diri.
To be Continue....
by Bagus Mias Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar